ACARA
AGAMA HINDU II
Upacara Mapandes
( Potong Gigi )
Dosen Pengampu : Drs. I Ketut
Indrayasa, M.Pd.H
Oleh
:
Gede
Ari Krisna Putra
NIM. 10. 1.1.1.1. 3874
PAH B / V
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
KATA
PENGANTAR
Om Suastiastu,
Puja
dan puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas
Asung Kerta Wara Nugraha-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Upacara
Mepandes (Potong Gigi)” yang selesai dengan baik dan tepat waktu.
Saya menyusun makalah ini yaitu untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Acara Agama Hindu II. Dalam
penyusunan makalah ini saya ucapan terima kasih banyak kepada Bapak Drs.
I Ketut Indrayasa, M.Pd.H selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Acara Agama
Hindu II, karena atas bimbingan beliau saya bisa menyusun makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah yang saya
susun ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan serta masih jauh dari
sempurna, maka dari itu saya harapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Om,
Santih, Santih, Santih Om.
Singaraja,
Desember 2012
Penulis
DAFTAR
ISI
Hal
COVER
KATA PENGANTAR
...................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah........................................................................ 4
1.3
Tujuan Penulisan.......................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Upacara Mapandes ............................................... .... 5
2.2 Tujuan Pelaksanaan Upacara Mapandes ..................................... 8
2.3 Sarana Pelaksanaan Upacara Mapandes ...................................... 9
2.4 Tata Cara Pelaksanaan
Upacara Mapandes ................................. 10
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan ...................................................................................... 16
3.2 Saran ........................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upacara
adalah lapisan paling luar dari Agama, karena upacara merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari suatu kesatauan agama secara utuh.
Secara etimologi kata upacara
berasal dari kata Sansekerta yaitu “Upa” (dekat) dan “Cara”
(jalan). Jadi Upacara berarti jalan untuk mendekatkan diri / jalan untuk melaksanakan
upacara dalam upaya untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi / Tuhan Yang
Maha Esa, yang dilakukan dengan sungguh-sungguh atas dasar ketulus ikhlasan. Kitab
suci dan sastra-sastra yang di bentangkan dalam berbagai pustaka. Tiga aspek yang
menjadi dasar pelaksanaan upacara yaitu 3 kerangka Dasar Agama Hindu adalah,
Tattwa (Filsafat), Susila (Etika), Upakara (Upacara).
Manusia
itu lahir di Bhuvana Alit dan terus lahir lahir di Bhuvana Agung. Bhuava Alit
itu adalah kandungan ibunya sendiri. Di dalam kandungan ibunya manusia yang
masih berbentuk janin itu oleh alam melalui Catur Sanaknya seperti darah, yeh
nyom, lamas dan Ari-ari. Lewat Catur Sanak itulah janin itu semakin
dimanusiakan dalam kandungan ibunya. Setelah ia lahir ke dunia atau Bhuvana
Agung ia dimanusiakan oleh lingkungannya baik itu lingkungan alam aupun oleh
lingkungan sesama manusia. Manusia itu dimanusiakan dengan berbagai jalan.
Salah satu jalan yang ditempuh adalah ritual Agama. Ritual Agama dalam tradisi
Hindu di Bali disebut Upacara Manusa Yajna. Dari bayi itu baru lahir sampai ia
melangsungkan upacara perkawinan (Wiana, 2002:239).
Manusa
yadnya adalah suatu korban suci atau pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup
manusia. Di dalam pelaksanaan upacara manusa yadnya masalah tempat, keadaan dan
waktu sangat penting. Secara umum upacara itu dilaksanakan pada saat anak mengalami masa peralihan, hal
ini dilatar belakangi oleh adanya suatu anggapan bahwa pada saat-saat itulah
seorang anak dalam keadaaan kritis, sehingga perlu dilaksanakan suatu upacara
atau selamatan. Dalam menyenglenggarakan segala usaha serta kegiatan dalam
bentuk yang lain nyata demi kemajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna
persiapan menempuh kehidupan sehari-hari. Demikianlah pengertian manusa yajna
jika dilihat secara umum.
Namun
dalam konsep Sastra Agamanya rumusan Manusa yajña agak berbeda dengan
pengertian secara umum dewasa ini di Bali. Sumber sastra agama yang berbahasa
sansekerta maupun bahasa kawi merumuskan manusia yajña itu adalah sebagai
ritual untuk melayani Atithi Yajña
dan menjamu masyarakat dengan makanan dan minuman sesuai dengan kemampuan. Di
dalam kitab Sathapata Brahman dari Rg weda bahwa “manusa yajña itu adalah
persembahan berupa makanan kepada orang lain”. Di dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 70 Manusa Yajña
bahwa “dengan istilah Nara Yajña yang penerimaan tamu dengan ramah tamah atau
Atihti Puja. Nara Yajña Atithi Pujanam”. Sedangkan
dalam sloka 81 disebutkan bahwa “Nara Yajña itu adalah mempersembahkan
makanan kepada masyarakat”. Pengertian manusa yajna di dalam sumber bahasa
sansekerta itu sejalan dengan pengertian Manusia Yajna yang dirumuskan dalam
sumber – sumber Sastra Agama yang berbahasa Jawa kuna. Didalam kitab Korawa Asrama yang berbahasa jawa
kuna manusa yajna itu disebutkan bahwa “memberikan makanan kepeda masyarakat”.
Didalam Lontar Agastia Parwa juga
berbahasa jawa kuna disebutkan bahwa “Manusa Yajna itu adalah mempersembahkan
makanan kepada masyarakat”.
Nampaknya mempersembahkan makanan inilah
wujud Manusa Yajna sebagaimana dirumuskan dalam sastra agama yang ada.
Sedangkan upacara untuk menyucikan manusia dari ia baru lahir sampai ia kawin
dalam sumber sastra agama disebut Sarira
Samskara atau disebut Samskara
saja. Hal ini ditegaskan dalam kitab Manawa
Dharmasastra II, 26. Dalam sloka
– sloka diuraikan nama dan tata penyelenggaraan upacara Sarira Samskara tersebut. Proses penyucian inilah dalam tradisi
Hindu di Bali disebut manusa yajna. Kalau kita renungkan landasan filosofinya
tidaklah salah kalau upacara Sarira
Samskara itu disebut Manusa Yajna. Upacara Manusa Yajna itu menganisiasi
manusia dari satu tahapan hidup sampai menuju tingkatan yang lebih tinggi status
kesuciannya begitu juga Sarira Samskara (Wiana :2002 :240).
Upacara dengan upakara manusa yadnya
memvisualisasikan secara ritual agama, cita-cita menyucikan manusia agar
menjadi manusia sebagai manusia sebagaiman mestinya. Manusia dalam hidupnya
perlu disucikan dari tiga bentuk kekotoran. Setiap gerakan alam dan manusia
selalu menimbulkan dua aspek, yaitu aspek yang positif dan negatif. Usaha-usaha
manusia tentunya harus berusaha untuk menanggulangi akibat negatif tersebut
agar pengaruhnya sekecil mungkin (Tinggen, 2002:3). Berikut beberapa proses upacara
Manusa Yadnya seperti :
1. Upacara Magedong-
gedongan (bayi dalam kandungan).
2. Upacara
Kelahiran (bayi lahir).
3. Upacara
Kepus Puser.
4. Upacara
12 hari (ngelepas hawon).
5. Upacara
Tutug Kambuhan (bayi umur 42 hari).
6. Upacara
Nyambutin (tiga bulanan/bayi umur 105 hari).
7. Upacara
Satu Oton Ngotonin (bayi umur 210 hari).
8. Upacara Tumbuh Gigi
(Ngempugin).
9. Upacara Tanggal
Gigi Pertama (Makupak).
10. Upacara Munggah
Deha (menek bajang/dewasa).
11.Upacara
Mepandes (potong gigi).
12. Upacara Wiwaha
(perkawinan).
13. Upacara Mewinten
(upanayana).
Setiap manusia dipenuhi dengan banyak ritual dalam hidupnya.
Umat Hindu khususnya berbagai upacara/ritual dilakukan mulai dari dalam
kandungan hingga ia meninggal dunia. Dan salah satu yang harus dilaluinya adalah
Upacara Mepandes (Potong Gigi). Upacara Mepandes merupakan salah satu ritual
yang terpenting bagi setiap individu manusia umat Hindu. Upacara ini menandai
satu babak hidup memasuki usia dewasa secara niskala. Upacāra Mepandes disebut
pula Metatah, dan Mesangih.
Bila kita mengkaji lebih jauh,
upacāra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas,
merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang,
guna dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang
Widhi Wasa, Dewata dan Leluhur. Di Bali upacāra Mapandes, dapatlah dipahami
bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi
kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri
pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri
pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang dibahas dalam pembuatan makalah ini diantaranya :
1.2.1 Apa pengertian Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi)?
1.2.2 Apa tujuan pelaksanaan Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi)?
1.2.3 Apa sarana yang digunakan
dalam pelaksanaan Upacara Mapandes (Upacara Potong
Gigi)?
1.2.4 Bagaimana tata cara
pelaksanaan Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi)?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi).
1.3.2 Untuk mengetahui tujuan pelaksanaan Upacara
Mapandes (Upacara Potong Gigi).
1.3.3 Untuk mengetahui sarana yang digunakan dalam pelaksanaan Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi).
1.3.4 Untuk mengetahui
tata cara pelaksanaan Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi).
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Upacara Mapandes (Potong Gigi)
Upacara
Mapandes atau upacara potong gigi juga dikenal dengan nama metatah atau
mesangih, upacara ini merupakan salah satu rangkaian dari upacara manusa yajnya
yang patut dilaksanakan oleh setiap umat Hindu. Upacara ini mengandung
pengertian yang mendalam bagi kehidupan umat Hindu yaitu :
1. Pergantian
prilaku untuk menjadi manusia sejati yang telah dapat mengendalikan diri dari godaan pengaruh Sad Ripu (enam musuh dalam diri pribadi).
2. Memenuhi
kewajiban orang tua terhadap anak untuk menemukan hakikat manusia sejati.
3. Untuk
dapat bertemu kembali kelak disurga antara anak dengan orang tua setelah sama-sama meninggal dunia.
Upacara
potong gigi dilaksanakan segera setelah meningkat dewasa atau sebelum upacara
wiwaha (kawin), sehingga apabila kemudian mereka kawin akan terjadi pertemuan
sukla-swanita (sel telur dengan sperma) yang telah disucikan. Namun banyak juga
pelaksanaan upacara mapandes ini dilaksanakan bersamaan dengan upacara wiwaha.
Hal ini dilakukan karena ada upacara yang lainya belum sempat dilakukan
termasuk potong gigi, namun sudah terburu cepat mawiwaha. Juga dimaksudkan
untuk menghemat biaya, sehingga beberapa tingkatan upacara manusa yajnya
dilakukan sekalian. Demi menghemat biaya terkadang juga melaksanakannya pada
saat memukur (rangkaian upacara pitra yajnya), namun juga tak jarang dilakukan
secara kolektif (bersama-sama).
Upacara
mapandes ini dilakukan terhadap anak laki-laki yang telah meningkat dewasa
serta anak perempuan jika telah datang bulan. Dalam upacara ini gigi yang
dipotong berjumlah enam buah, pada bagian atas yang terdiri dari empat buah
gigi seri dan dua buah gigi taring, secara rohaniah dipotongnya gigi bagian
atas berjumlah enam buah dapat bermakna untuk mengurangi kekotoran dan musuh
dalam diri (Sad Ripu), yaitu :
1. Kama (keinginan)
2. Krodha (kemarahan)
3. Lobha (ketamakan)
4. Moha (kemabukan)
5. Mada (congkak)
6. Matsarya (iri hati).
Keenam
sifat Sad Ripu itu sering menyesatkan dan menjerumuskan manusia kelembah kesengsaraan
di dunia dan akhirat. Tetapi secara lahiriniah pemotongan gigi itu dapat pula
dianggap untuk mencapai keindahan, kecantikan, dll. Oleh
karena itu kewajiban bagi setiap orang tua untuk dapat memberi nasehat,
bimbingan serta permohonan doa kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha ) agar
anak mereka terhindar dari 6 pengaruh sifat buruk yang sudah ada sejak manusia
di lahirkan di dunia. Upacāra
ini merupakan sebagai wujud bhakti orang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya yang
telah menjelma sebagai anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan kepribadiannya, dengan
harapkan menjadi putra yang suputra sesuai dengan kitab Nitiśāstra.
Sumber
sastra mengenai upacara potong gigi adalah Lontar Kala Pati, Kala Tattwa,
Semaradhana, dan Sang Hyang Yama. Dalam Lontar Kala Pati disebutkan bahwa
potong gigi sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi manusia sejati
yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian hari bila
meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di Sorga Loka. Lontar
Kala Tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan Dewi
Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya dipotong. Oleh
karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara Kala agar rohnya dapat
bertemu dengan roh leluhur di sorga. dalam Lontar Semaradhana disebutkan bahwa
Bhatara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka
yang menyerang sorga loka dengan menggunakan potongan taringnya.
Selain
itu disebutkan bahwa Bhatara Gana lahir dari Dewi Uma setelah Dewa Siwa
dibangunkan dari tapa Samadhinya oleh Dewa Semara (Asmara) namun kemudian Dewa
Siwa menghukum Dewa Semara bersama istrinya, Dewi Ratih, dengan membakarnya
sampai menjadi abu. Kemudian menyebarkan abu tersebut ke dunia dan mengutuk
manusia agar tidak bisa hidup tanpa berpasangan (laki-perempuan) dalam suami
istri. Dalam Lontar Sang Hyang Yama disebutkan bahwa upacara potong gigi boleh
dilaksanakan bila anak sudah menginjak dewasa, ditandai dengan menstruasi untuk
wanita dan suara yang membesar untuk pria. Biasanya hal ini muncul di kala usia
14 tahun. Dalam Lontar
Atmaprasangsa menyebutkan bahwa, apabila tidak melakukan upacara potong gigi
maka rohya akan mendapat hukuman dari Bhatara Yamadipati di dalam Neraka (Kawah
Candragomuka ) yaitu mengigit pangkal bambu petung. Terlaksananya upacara ini
merupakan kewajiban orang tua terhadap anaknya, sehingga anaknya menjadi manusia
sejati yang di sebut dengan Dharmaning Darma-Rena Ring Putra. Maka itulah orang tua di kalangan umat Hindu
berusaha semasa hidupnya menunaikan kewajiban terhadap anaknya dengan
melaksanakan upacara potong gigi. Guna membalas jasa orang tuanya maka anak berkewajiban
upacara Pitra Yadnya atau Ngaben saat orang tuanya meninggal dunia, sesuai
dengan Dharmaning Putra Ring Rama Rena. Berbakti kepada orang tuanya
sesuai ajara Putra Sesana.
Adapun
makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, Kala Tattwa, dan Semaradhana
ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak
tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya yang suci
dapat mencapai Suarga Loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan
Brahman (Hyang Widhi). Dalam pergaulan muda-mudi pun diatur agar tidak melewati
batas kesusilaan.
Bila kita mengkaji lebih jauh, Upacāra Mapandes
dengan berbagai istilah, merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan
diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para Dewata dan Leluhur. Di Bali upacāra ini
dikelompokkan dalam upacāra Manusa Yajña. Makna yang dikandung dalam upacara Mapandes ini adalah :
1. Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi Sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgītā.
1. Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi Sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgītā.
2. Memenuhi
kewajiban orang tua (ibu-bapa), karena telah memperoleh kesempatan untuk
beryajña, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut
mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat
manusia.
3. Secara
spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang
Widhi Wasa, para Dewata dan Leluhur,
kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa
(Piṭṛaloka).
Berdasarkan
pengertian dan makna upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah
dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting
bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri
pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri
pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya.
2.2
Tujuan Upacara Mapandes (Potong Gigi)
Tujuan
dari upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati
yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menuju ke alam
dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia.
Berdasarkan keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka
upacāra Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:
1. Melenyapkan kotoran
diri dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan.
Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta,
Kāla, Pisaca, Raksasa dalam arti jiwa dan
raga diliputi oleh watak Sad Ripu, sehingga dapat menemukan hakekat manusia
yang sejati.
2. Dengan kesucian
diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa,
para Dewata dan Leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā
dan Bhakti kepada-Nya.
3. Menghindarkan diri
dari kepapaan, menghindarkan diri dari hukuman di alam neraka nanti, yang
dijatuhkan oleh Bhatara Yamadhipati berupa menggigit pangkal bambu petung.
4. Merupakan kewajiban
orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk
menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajña
dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti,
menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar
menjadi seorang putra yang suputra.
2.3 Sarana yang Digunakan dalam Pelaksanaan
Upacara Mapandes (Potong Gigi)
Pelaksanaan
upacara mapandes ini pemujaan ditujukan ke hadapan Hyang Samara Ratih (Dewa
Kama) sebagai lambang cinta kasih. Dewa Kama dalam wujudnya sebagai
Ardhanareswari mempunyai nama yang banyak seperti : Dewa Anangga dengan
saktinya Dewi Kamini, Hyang Smara dengan saktinya Dewi Svetari, dan Dewa
Kamadewa dengan saktinya Dewi Ratih. Dalam pelaksanaannya upacara Mapandes ini
biasanya dibuatkan Bale Gading yang dihias dengan bunga-bungaan yang berwarna
serba kuning sebagai berstananya Dewa Kama beserta kekuatannya Dewi Ratih.
Berikut sarana dan perlengkapan yang digunakan dalam upacara Mapandes :
1. Upakara yang kecil : banten pabyakala,
prayascita, panglukatan, canang daksina dan tataban seadanya.
2. Upakara yang lebih besar : tatabannya memakai
Pulagembal.
Disamping sarana upakara tersebut
ada juga perlengkapan yang lain, yaitu :
1. Upacara dilakukan pada sebuah bangunan (bale)
yang masih sukla (baru), dilengkapi dengan kasur, bantal, seprai, tikar
bergambar Smara Ratih, dilengkapi dengan selimut (rurub).
2. Bale gading, dibuat dari bambu gading (yang
lain), dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta
didalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dilengkapi dengan
sebuah suci), canang burat wangi, canangsari, raka-raka kekiping pisang
mas, nyanyah gula kelapa dan periuk/sangku berisi air dan bunga 11 jenis. Bale
Gading tempat bersemayamnya Sanghyang Smara Ratih.
3. Kelapa Gading yang dikasturi, airnya dibuang,
ditulisi dengan Aksara Ardhanareswari. Kelapa gading ini akan dipakai tempat
ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai, yang nantinya usai upacara kelapa
gading ini ditanam di belakang Sanggah Kemulan.
4. Untuk singgang gigi (padangal) terbuat dari 3
potong cabang dadap dan 3 potong tebu malem/tebu ratu (panjangnya kira-kira 1
cm/1,5 cm).
5. Pangilap dari cincin berwarna mirah, kikir,
pahat, dan cermin.
6. Pangurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit)
yang dikupas sampai bersih dan kapur.
7. Sebuah bokor berisi : pengilap dan
pengurip-urip.
8. Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih
lekesan, tembakau, pinang, gambir, dan kapur.
9. Kain penutup dada secukupnya.
10. Banten tetingkeb yang ditaruh di belakang
depan yang akan diinjak waktu turun, setelah selesai matatah (dapat diganti
dengan segehan agung).
11. Sajen untuk pemimpin yaitu peras, daksina,
jauman, dan punia/sesari.
2.4 Tata Cara Pelaksanaan Upacara
Mapandes (Potong Gigi)
Pada hari baik yang sudah
ditentukan, peserta potong gigi sejak pagi hari sudah melakukan yang namanya
mabersih ring raga. Mereka dimandikan secara adat dengan air kembang 7 rupa.
Ada mawar, kenanga, cempaka, pacah, dan bunga lain yang harumnya alami. Setelah
itu mereka yang akan potong gigi dirias dengan pakaian adat kebesaran, namanya
payas agung matatah. Untuk pria terdiri dari bagian atasnya destar dengan motif
prada keemasan, sedangkan wanitanya gelung juga dengan bunga emas betulan.
Pakaiannya bagi peserta metatah pria mengenakan baju putih terbuat dari kain
sutra dengan torehan prada bermotif aneka macam bunga dan satwa langka. Destar
bermotif prada maknanya, adalah mereka yang potong gigi diharapkan bisa
mengendalikan fikirannya sehingga senantiasa bening dan bersih. Adapun urutan
di dalam proses pelaksanaan upacara potong gigi / mapandes adalah sebagai
berikut :
1. Ngekeb, yang artinya disini tidak boleh keluar
meten atau di gedong sampai menjelang upacara potong gigi keesokan harinya.
2. Pada
saat yang tepat, biasanya sebelum tengah hari, ketika pemimpin upacara potong
gigi sudah mempersiapkan banten dan perlengkapan lainnya, peserta potong gigi
akan dituntun oleh orang tuanya menuju bale adat. Yang diupacarai terlebih
dahulu mabhyakala dan maprayascita. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke
hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.Ditempat itu seluruh sanak keluarga dan
kerabat sudah menanti dengan perasaan terharu. Hari itu mereka akan menjadi
saksi akan berakhirnya masa kanak-kanak bagi salah satu keluarga mereka.
3. Naik ke bale tempat mepandes mengarah ke hulu dengan
terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambang keharmonisan, mengetukkan
linggis tiga kali (Ang, Ung, Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang
Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk
mewaspadai sad ripu. Setelah melakukan sembah sebanyak 3 kali, dan memakai
sarana kwangen pada sembah yang kedua, mereka yang akan potong gigi memulai
ritual sakral itu. Direbahkan diatas kasur masih lengkap dengan pakaian adat
kebesaran. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada
bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar,
paha barulah diperciki tirtha pesangihan. Kemudian yang pertama dilakukan
adalah, menggigit tebu untuk mengganjal rahang sehingga tidak tertutup selama
proses pengikiran gigi. Selanjutnya adalah secara simbolis memahat dengan pahat
kecil 6 gigi bagian atas, 2 taring, 2 gigi depan dan 2 gigi sebelahnya. Ini
simbolis bahwa 6 musuh dalam diri akan segera disingkirkan. Dia terdiri dari
keinginan untuk main judi, mencuri, main perempuan, minum, mabuk dan madat.
4. Kemudian dengan penuh konsentrasi sangging
atau ahli potong gigi secara adat akan menyucikan peralatannya dan melakukan
tugasnya. Gigi taring dan 4 gigi bagian atas akan dikikir secara perlahan untuk
membuatnya rata. Ini berlangsung beberapa menit saja, kemudian mereka yang
potong gigi akan diberi cermin untuk melihat apakah giginya sudah rata,
taringnya sudah tidak lancip lagi. Ketika itulah keluarga yang berada di
sekitar bale adat akan memberi komentar apakah giginya sudah bagus atau
belum.
5. Selanjutnya dilakukan kumur suci, dengan
menggunakan tirta yang dibuat dengan doa tertentu. Dilanjutkan dengan membung
air kumuran itu ke dalam kelapa gading yang sudah dikasturi. Kasturi maksudnya
dilubangi dengan pisau tajam yang sudah disucikan dengan simetres berbentuk
segi enam dan sudah ditulisi aksara Ardhanareswari yang nantinya akan di pendem/ditanam
di belakang Sanggah Kemulan.
6. Selanjutnya peserta potong gigi diberikan
sirih yang sudah diberikan mantra suci, mereka harus menggigitnya sebanyak 3
kali, maknanya setelah potong gigi mereka memulai sesuatu dengan pandangan baru
yang lebih pragmatis, tidak lagi membawa masa kanak-kanak yang melenakan dan
kadang menjengkelkan.
7. Barulah kemudian mereka boleh turun kehalaman,
tapi sebelumnya menginjak dulu banten pengelukatan sebanyak tiga kali,
mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai sejak
berada dalam kandungan ibu sampai menjadi dewasa secara spiritual sudah
selesai, makna lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya
karena telah memelihara dengan baik, serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan
anak terhadap orang tua, juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh
kehidupan di masa yang akan datang.
8. Dilanjutkan dengan mebyakala sebagai sarana
penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
Mabyakala Sembahyang kepada : Bhatara Surya, Leluhur dan Bhatara Samadaya.
Selanjutnya menuju ke hadapan Sang Muput Upacara, disini dilakukan meeteh-eteh
persediaan, yaitu : Maprascita, Matirtha penglukatan, Pebersihan dan Pekuluh,
Mejaya – jaya, Ngayab banten oton, Ngayab banten pawinten dan dilanjutkan
dengan Mapedamel.
Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana. Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan, selalu berpegang pada ajaran agama Hindu (dharma), mempunyai pandangan luas, dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma. Secara simbolis ketika mepadamel, dilakukan sebagai berikut :
1).Mengenakan kain putih, kampuh kuning, dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih.
2).Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah, putih, hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana. Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan, selalu berpegang pada ajaran agama Hindu (dharma), mempunyai pandangan luas, dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma. Secara simbolis ketika mepadamel, dilakukan sebagai berikut :
1).Mengenakan kain putih, kampuh kuning, dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih.
2).Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah, putih, hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
3).Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa
berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa
kehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar
tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa
sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku,
rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas
pengetahuan karena pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai symbol kehidupan
yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu
menhadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta
enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.
9. Kemudian
dilanjutkan dengan mapinton ke Pura Khayangan Tiga, ke Pura Kawitan dan ke Pura
lainnya yang menjadi pujaannya yang bermakna tidak lain guna membimbing umat
manusia lebih meningkatkan bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi, para dewata dan
leluhur, dan menjaga agar hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia
dengan manusia dan manusia dengan lingkungan, yang dijaga secara harmonis,
serasi, seimbang dan selaras.
Kutipan Mantra-mantra Untuk Upacara
Mapandes :
1.
Mantra Prayascita dan Bhyakala :
Om Hrim,
Srim, Mam, Sam, Warn, Sarwa rogha satru winasa ya hrah phat.
Om Hrim. Srim. Am. Tam. Sam. Bam. Im, sarwa danda mala papa klesa, winasaya hrah, hum, phat.
Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa papa petaka winasaya hrah, hum phat,
Om Siddhir guru shrom, Sarwasat.
Om sarwa wighna winasaya, sarwa papa winasaya namah swaha.
Artinya :
Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana dan lain-lain menjadi sirna.
Om Hrim. Srim. Am. Tam. Sam. Bam. Im, sarwa danda mala papa klesa, winasaya hrah, hum, phat.
Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa papa petaka winasaya hrah, hum phat,
Om Siddhir guru shrom, Sarwasat.
Om sarwa wighna winasaya, sarwa papa winasaya namah swaha.
Artinya :
Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana dan lain-lain menjadi sirna.
2.
Mantra Mohon Persaksian :
Om
adityasya parantyotih rakta tejo nama stute, sweta pangkaja mandhyasta Bhaskara
ya namostute, Om pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa winasanam,
pranamya aditya siwartham bhukti mukti warapradam.
Om hrang hring sah paramasiva raditya ya namah swaha.
Artinya :
Om Hyang Widhi Wasa, semoga hamba mendapat perkenanMu, untuk melalui tahapan hidup ini dalam jalanMu dengan pertolongan hanya dariMu.
Om dimulyakanlah Engkau ya Tuhan.
Om hrang hring sah paramasiva raditya ya namah swaha.
Artinya :
Om Hyang Widhi Wasa, semoga hamba mendapat perkenanMu, untuk melalui tahapan hidup ini dalam jalanMu dengan pertolongan hanya dariMu.
Om dimulyakanlah Engkau ya Tuhan.
3. Mantra Alat Pengasah / Kikir :
Om
Sang perigi manik,
Aja
sira geger lungha,
Antinen
kakang nira Sang Kanaka,
Teka
kekeh pageh,
Tan
katekaning lara wigena,
Teka awet awet awet.
Artinya :
Om Hyang Widhi Wasa,
Semoga alat-alat ini dapat
memberikan kekuatan.
4.
Mantra Pemotongan Gigi Pertama :
OM
lungha ayu,
Teka
ayu (3 kali).
Artinya :
5. Mantram Pengurip-urip :
Om urip-uriping bhayu,
Sabda, idep, teka urip, Ang Ah.
Artinya:
Om Sang Hyang Widhi Wasa,
Dalam wujud Brahma Maha Sakti,
semoga tenaga, ucapan dan pikiran hamba memberikan kekuatan terhadap alat-alat
ini.
6. Mantram Mejaya-jaya :
Om
Dirgayur Astu tat astu,
Om
Subham astu tat astu,
Om
Sukham bhawantu,
Om
Purnam bhawantu,
Om
Sreyam bhawantu,
Om
Sapta wrddhin astu tat astu astu swaha.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa,
Semoga kami dianugrahi kesejahteraan, kebahagiaan, dan
panjang umur.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Upacara Mapandes mengandung
pengertian bagi kehidupan umat Hindu yaitu : Pergantian prilaku untuk menjadi manusia
sejati yang telah dapat mengendalikan diri dari godaan pengaruh Sad Ripu (enam musuh dalam diri pribadi).
Memenuhi kewajiban orang tua terhadap anak untuk menemukan hakikat manusia
sejati. Dan untuk dapat bertemu kembali disurga antara anak dengan orang tua setelah
sama-sama meninggal dunia.
Makna yang dikandung dalam upacara
Mapandes ini adalah : Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak
menjadi dewasa, memenuhi kewajiban orang tua (ibu-bapa), dan secara spiritual
seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan
diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa para Dewata dan Leluhur kemudian kelak bila
yang bersangkutan meninggal dunia Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan
leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).
Berdasarkan lontar Puja Kalapati dan
Ātmaprasangsa, upacāra Mapandes mengandung tujuan : Melenyapkan kotoran diri
pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan
cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla,
Pisaca, Raksasa dalam arti jiwa dan raga
diliputi oleh watak Sad Ripu. Seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan
Bhakti kepada-Nya. Menghindarkan diri dari kepapaan. Menghindarkan diri dari
hukuman di alam neraka dan Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) sehingga
seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.
Sarana dan perlengkapan yang digunakan dalam upacara
Mapandes : Upakara yang kecil : banten pabyakala, prayascita, panglukatan,
canang daksina dan tataban seadanya. Dan Upakara yang lebih besar : tatabannya
memakai Pulagembal. Kemudian tata cara pelaksanaannya ada 9 urutan, dimulai
dari yang pertama Ngekeb hingga yang terakhir yaitu Mapinton ke Kahyangan tiga
dan Kawitan dan Pura lainnya yang menjadi pujaanya.
3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini,
saya menemukan banyak masalah dan kendala, untuk itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat saya perlukan demi kesempurnaan penyusunan
makalah ini, dimasa yang akan datang. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Putra, Ny.I.G.A.Mas Mt. 1993. Panca Yadnya. Jakarta: Yayasan Dharma
Sarathi.
Sudharta, Tjok Rai. 1993. Manusia Hindu Dari Dalam Kandungan Sampai
Perkawinan. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Sukartha, I Ketut, dkk. 2002. Agama Hindu. Jakarta : Ganeca Exact.
Tinggen, I Nengah. 2002. Manusa Yadnya (I) Upacara Mapandes.
Singaraja: Bubunan.
Wiana, I Ketut. 2002. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu.
Surabaya: Paramita.
--------------. 2006. Panca Yadnya. Milik Pemerintah Provinsi Bali (Penggandaan Buku
Penuntun Agama Hindu dan Modul/Silabus Tentang Pasraman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar